Tulusnya kasih
ibu,mulai dari kita didalam kandungan,sampai saat ini,detik ini kamu sedang
melihat gambar ini.ingatlah bahwa Ibu yang telah membuatmu sampai pada titik
ini :)

haiiii haiii,, ini cerita aku dapet dari taq-an note temanku, yang sengaja dibagi-bagin
pas hari ibu kemarin, cerita yang bisa bikin kita sampe nangis-nangis baca
perjuangan seorang ibu dan kasi sayangnya. semoga cerita ini bermanfaat dan
membuat kita lebih sayang sama ibu kita ^^ cintailah ibu kita sebagai mana kita
mencitai diri kita sendiri. Alkisah, ada sepasang kekasih yang saling
mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya, dan merupakan orang yang
terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu,
hidup serba kekurangan, tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan
inilah yang membuat sang pria jatuh hati. Sang wanita hamil di luar nikah. Sang
pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti
yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut.
Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut
akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan
jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya,
bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia. Sang wanita
merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak
ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang
tuanya, bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah
dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat tunduk
pada orang tuanya). Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk
orangtuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga stress karena
gagal membujuk anak satu-satunya, agar berpisah dengan wanita tersebut, yang
menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya. Sang pria akhirnya
menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya
demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana
ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua
mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya
yang besar. Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah
ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat
terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon
pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya.
Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan
mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya
akan tercemar, orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis
yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar
wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi, dan
menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai
hidupnya di tempat lain. Sang wanita menangis tersedu-sedu. Dalam hati
kecilnya, ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan
menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk
meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia
mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan
hidupnya ke depan akan sangat sulit?. Ibu sang pria kembali memohon kepada
wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan
bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan
terus mencari kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya.
“Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang
yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu. Dengan
berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan
untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya hanya akan
merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji setia mereka
berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan
akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan
ini, dan memutuskan untuk berpisah. Tetesan air mata sang wanita tampak
membasahi surat tersebut. Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya
pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera
meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil.
Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya. Detik .. Menit ….
Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun telah berlalu. Ternyata
wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu
bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan
siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci
pakaian2 tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia
melakukan semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun
ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan,
karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat. Tetapi sang ibu tidak
pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak
tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit
setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari.
Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja
kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga
meminjam ke sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan
pinjaman. Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup
ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari
obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya
mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi
untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah
berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar. Ketika di rumah,
sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging.
Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar di akhir
bulan saat gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia
mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain.
Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil
sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur,
ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah
berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara
kesakitan yang teramat sangat?.. Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan
menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga,
terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan
pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu ………… . Enam tahun telah
berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi
pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu, mereka sering pergi ke
taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi
Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang
baik”). Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga
toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka
lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa
ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya
masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia
memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang
tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan
ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera
menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana,
tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak
keperluan lain yang perlu dibiayai. Sang anak segera pergi ke toko tersebut,
yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar
menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah
kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan
punya”, kata sang anak dengan serius. Ternyata, bulan depan sang anak
benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut,
kiranya sang anak hanya main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek
bertanya “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak
mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik
becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat
pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk
beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu
ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang pemilik toko tampak
kagum pada anak tersebut. Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore
hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam
tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya.
Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar,
dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau
menjawab. “Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak
ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya
berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri.
“Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari
kamu tentang hal ini?” kata sang ibu. Lalu ibu mengambil rotan dan mulai
memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya
sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar.
Hatinya begitu perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus
melakukannya, demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar.
Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah
mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu
tetangganya. Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah
salah satu tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke
rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia
segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari
ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada
ibunya. “Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek itu.
Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di
tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan
sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya,
katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana
sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di
sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan
ibunya. Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal
tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya, Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah” Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak
sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua
sangat sedih akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka
kelak. Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah
kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru
menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia
mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup
mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin
melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan. Di pertengahan tahun,
penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa penyakit sang anak
butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh lagi, akan
membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan
sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya.
Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat.
Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah, karena
sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya. Maka di hari Minggu ini, sang
ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman kesukaan
mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”,
lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya,
ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke rumah, ibu
menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama
ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak mampu membiayai
perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat.
Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti,
saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu
tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan
berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh
setiap saat. Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat
senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak
meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan
kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak
menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan
nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu
harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan
bermain bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya
sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”,
sang anak mulai menangis. Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah
besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis
tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada
akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi.
Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut.
Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan. Di rumah,
sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia telah
berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi
mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia
tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan
untuk hidup, anaknya tercinta. Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau
dapur untuk memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa
anaknya mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup
untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh
diri itu dibatalkan, demi anaknya juga………. Setahun berlalu. Sang ibu telah
pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah
sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan.
Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia
peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada
hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik
bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang
anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia
setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai
ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu. Sang anak
berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika
sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga mengatakan
ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi. Sang anak
tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu
benar-benar tidak menginginkan saya lagi.” Sementara itu, keluarga sang ayah
begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih
dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah
dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang
juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang. Ketika
sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah
hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin
pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah
tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga,
nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan
tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu. Hari
mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa mendapatkan
petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut
di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia memohon agar bisa menemukan
anaknya. Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan
anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah
berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im
yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik.
Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk
memohon agar bisa bertemu dengan dirinya. Benar saja, ternyata sang anak berada
di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera
menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil,
sang ibu terjatuh dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah………. Sepuluh
tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering
beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga,
ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk
mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil. Siang itu, seperti biasa
sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya. Mereka
tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan sebuah jalan, ia
melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh,
dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya.
Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia
menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua
itu. Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta
sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat
anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera
menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak disangka
sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka berdua
menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu
tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak
dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”. Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba
muka sang anak, lalu bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu,
saya adalah anak ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur
membasahi bumi …………… . Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur
kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun
terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai orang gila. Perenungkan untuk kita renungkan
bersama-sama: Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita.
Ibu bahkan rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan
berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua : 1. Anakku
masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai
gantinya. 2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya. Diantara
orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung Anda,
diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela mengorbankan nyawanya
untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara apapun ……….. Tidak diragukan
lagi “Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia ini”. Ingin bergabung
dalam sebuah MISI MULIA ? Ada 2 tindakan yang dapat Anda lakukan : 1. Bila Anda
beruntung (Ibu Anda masih ada di dunia ini), ajaklah ia untuk keluar makan atau
jalan-jalan MALAM INI JUGA. Jangan ditunda2. Bila Ibu Anda tinggal di tempat
yang terpisah jauh dengan Anda, telponlah dia malam ini juga, just to say
“hello”. Catatlah hari ulang tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlah dia semampu
Anda. Hidangkan makanan favoritnya, dan seterusnya. 2. Kirimkan kisah film ini
kepada saudara/i Anda, teman2 Anda, maupun rekan-rekan kerja Anda (minimal 5, kalau
100 org lebih baik lagi). Bagi sebagian dari mereka, kisah ini mungkin akan
seperti setetes embun yang menyegarkan jiwa mereka, yang terkadang terlalu
sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Anda sungguh berjasa dalam hal ini??